Dasar
Hukum
Dasar
hukum Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Undang-Undang No. 12
Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 12 tahun 1994.
PENGERTIAN-PENGERTIAN
Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa tambak perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia .
Bangunan adalah kontruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.
Termasuk dalam pengertian bangunan adalah :
a. Jalan lingkungan dalam satu kesatuan dengan komplek bangunan.
b. Jalan tol.
c. Kolam renang
d. Pagar mewah
e. Tempat olahraga
f. Galangan kapal, dermaga
g. Taman mewah
h. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak
i. Fasilitas lain yang memberikan manfaat
Nilai
Jual Objek Pajak (NJOP)
adalah harga rata-rata yang
diperoleh dari transaksi jual-beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana
tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai jual obyek pajak ditentukan melalui
perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru,
atau nilai jual objek pajak pengganti.
Yang dimaksud dengan :
• Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak lain yang sejenis, yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya.
• Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek tersebut.
• Nilai jual pengganti adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.
Yang dimaksud dengan :
• Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak lain yang sejenis, yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya.
• Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek tersebut.
• Nilai jual pengganti adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.
Suatu
pemberitahuan Objek Pajak(SPOP)
adalah surat yang digunakan oleh
wajib pajak untuk melaporkan data objek menurut ketentuan undnag-undang pajak
bumi dan bangunan.
Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)
adalah surat yang digunakan oleh
Direktorat Jendral Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak terutang kepada
wajib pajak. Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan SPPT (Surat Pemberitahuan
Pajak Terutang) berdasarkan SPOP (Surat Pemberitahuan Objek Pajak) wajib pajak.
OBJEK
PAJAK
1. Yang menjadi objek pajak adalah bumi dan/atau bangunan.
2. Yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokkan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman, serta untuk memudahkan penghitungan pajak yang terutang.
Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan factor-faktor sebagai berikut :
a. Letak
b. Peruntukan
c. Pemanfaatan
d. Kondisi lingkungan dan lain-lain
Dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut :
a. Bahan yang digunakan
b. Rekayasa
c. Letak
d. Kondisi lingkungan dan lain-lain
3. Pengecualian Objek Pajak
Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek pajak yang :
a. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dan tidak untuk mencari keuntungan, antara lain :
1) Di bidang ibadah, contoh : masjid, gereja, vihara.
2) Di bidang kesehatan, contoh : rumah sakit.
3) Di bidang pendidikan, contoh : madrasah, pesantren
4) Di bidang social, contoh : panti asuhan.
5) Di bidang kebudayaan nasional, contoh : museum, candi.
b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu.
c. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah pengembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.
d. Digunakan oleh perwakilan diplomatic, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
e. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
Catatan :
Yang dimaksud dengan tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan adalah bahwa objek pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata-nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan/badan yang bergerak dalam bidang ibadah, social, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional tersebut. Termasuk pengertian ini adalah hutan wisata milik negara sesuai pasal 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan.
4. Objek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Yang dimaksud dengan objek pajak adalah objek pajak yang dimiliki/dikuasai/digunakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan. Pajak bumi dan bangunan adalah pajak negara yang sebagian besar penerimaannya merupakan pendapatan daerah yang antara lain dipergunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga dinikmati oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Oleh sebab itu wajar Pemerintah Pusat juga ikut membiayai penyediaan fasilitas tersebut melalui pembayaran pajak bumi dan bangunan.
Mengenai bumi dan/atau bangunan milik perseorangan dan/atau bukan yang digunakan oleh negara, kewajiban perpajakannya tergantung pada perjanjian yang diadakan.
5. Besarnya nilai jual objek pajak tidak kena pajak (NJOPTKP) ditetapkan sebesar Rp. 8.000.000 untuk setiap wajib pajak. Apabila seorang wajib pajak mempunyai beberapa objek pajak, yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu objek pajak yang nilainya terbesar, sedangkan objek pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi NJOPTKP.
Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menentukan besarnya NJOPTKP dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta nilai perkembangan harga umum objek pajak setiap tahunnya.
Untuk lebih jelasnya diberikan contoh berikut ini :
a. Seorang wajib pajak mempunyai objek pajak berupa bumi dengan nilai Rp. 5.000.000,-. Karena NJOP berada dibawah batas NJOPTKP (Rp 8.000.000,00), maka Objek Pajak tersebut tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.
b. Seorang wajib pajak mempunyai Objek Pajak berupa bumi dan bangunan di desa A dan desa B dengan nilai sebagai berikut :
Desa A :
NJOP Bumi Rp. 12.000.000,-
NJOP Bangunan Rp. 8.000.000,-
Desa B :
NJOP Bumi Rp. 7.000.000,-
NJOP Bangunan Rp. 10.000.000,-
Dengan data tersebut di atas, maka NJOP untuk perhitungan PBB nya sebagai berikut :
Langkah pertama adalah mencari NJOP dari dua desa tersebut yang mempunyai nilai paling besar, yaitu desa A. Maka NJOP untuk perhitungan PBB adalah :
NJOP Bumi Rp. 12.000.000,-
NJOP Bangunan Rp. 8.000.000,-
NJOP sebagai dasar pengenaan PBB Rp. 20.000.000,-
NJOPTKP Rp. 8.000.000,-
NJOP untuk penghitungan PBB Rp. 12.000.000,-
Kemudian untuk desa B :
NJOP untuk penghitungan PBB :
NJOP Bumi Rp. 7.000.000,-
NJOP Bangunan Rp. 10.000.000,-
NJOP sebagai dasar pengenaan PBB Rp. 17.000.000,-
NJOPTKP Rp. 0,-
NJOP untuk penghitungan PBB Rp. 17.000.000,-
SUBJEK PAJAK
1. Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau/memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Dengan demikian tanda pembayaran/pelunasan pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak.
2. Subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam no. 1 yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak.
3. Dalam hal atas suatu objek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, Direktur Jenderal Pajak dapat menentapkan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam no. 1 sebagai wajib pajak.
Hal ini berarti memberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk menentukan subjek wajib pajak, apabila suatu objek pajak belum jelas wajib pajaknya.
Untuk lebih jelasnya diberikan contoh berikut ini :
a. Subjek Pajak X memanfaatkan atau menggunakan bumi dan/atau bangunan milik Y bukan karena sesuatu hak berdasarkan Undang-Undang atau bukan karena perjanjian, maka X yang memanfaatkan/menggunakan bumi dan/atau bangunan ditetapkan sebagai wajib pajak.
b. Suatu objek pajak yang masih dalam sengketa pemilikan di pengadilan, maka orang atau badaan yang memanfaatkan/menggunakan objek pajak tersebut ditetapkan sebagai wajib pajak.
c. Subjek pajak dalam waktu yang lama berada di luar wilayah letak objek pajak, sedangkan untuk merawat objek pajak tersebut dikuasakan kepada orang atau badan, maka orang atau badan yang diberi kuasa dapat ditunjuk sebagai wajib pajak. Penunjukan sebagai wajib pajak oleh Dirjen Pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak.
4. Subjek pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam no. 3 dapat memberikan keterangan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa ia bukan wajib pajak terhadap objek pajak dimaksud.
5. Bila keterangan yang diajukan oleh wajib pajak dalam no. 4 disetujui, maka Direktur jenderal Pajak membatalkan penetapansebagai wajib pajak sebagaimana dalam no. 3 dalam jangka satu bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud.
6. Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasan-alasannya.
7. Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya keterangan sebagaimana dalam no. 4 Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, maka keterangan yang diajukan itu dianggap disetujui.
Apabila Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan dalam waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya keterangan keterangan dari wajib pajak, maka ketetapan sebagai wajib pajak gugur dengan sendirinya dan berhak mendapatkan keputusan pencabutan penetapan sebagai wajib pajak.
TARIF PAJAK
Tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5% ( lima per sepuluh persen).
DASAR PENGENAAN PAJAK
1. Dasar pengenaan pajak adalah nilai jual objek pajak.
2. Besarnya nilai jual objek pajak ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan daerahnya.
3. Dasar penghitungan pajak adalah nilai jual kena pajak yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan setingi-tingginya 100% dari nilai jual objek pajak.
4. Besarnya persentase nilai jual kena pajak ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional.
Pada dasarnya penetapan nilai jual objek pajak adalah 3 tahun sekali. Namun demikian untuk daerah tertentu yang karena perkembangan pembangunan mengakibatkan kenaikan nilai jual objek pajak cukup besar, maka penetapan nilai jual ditetapkan setahun sekali.
Dalam menetapkan nilai jual, Menteri Keuangan mendengar pertimbangan Gubernur serta memperhatikan asas self assessment. Yang dimaksud Nilai Jual Kena Pajak (assessment value) adalah nilai jual yang dipergunakan sebagai dasar perhitungan pajak, yaitu suatu persentase tertentu dari nilai jual sebenarnya.
Contoh :
1. Nilai Jual suatu objek pajak sebesar Rp. 2.000.000,-, Persentase Nilai Jual Kena Pajak misalnya 20%, maka besarnya Nilai Jual Kena Pajak = 20% x Rp. 2.000.000,- = Rp. 400.000,- .
2. Nilai Jual suatu objek pajak sebesar Rp. 2.000.000.000,-, Persentase Nilai Jual Kena Pajak misalnya 40%, maka besarnya Nilai Jual Kena Pajak 40% x Rp. 2.000.000.000,- = Rp. 800.000.000,-.
Untuk perekonomian sekarang ini, tertama untuk tidak terlalu membebani wajib pajak di daerah pedesaan, tetapi dengan tetap memperhatikan penerimaan, khususnya bagi Pemerintah Daerah. Maka telah ditetapkan besarnya persentase untuk menentukan besarnya Nilai Jual Kena Pajak (NJKP), yaitu :
1. 40% (empat puluh persen ) untuk :
a. Objek Pajak perumahan, yang Wajib Pajaknya perorangan dengan NJOP atas bumi dan bangunan sama atau lebih besar dari Rp. 1.000.000.000,-. Ketentuan ini berlaku bagi objek pajak yang dimiliki, dikuasai, atau dimanfaatkan oleh Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI/Polri, dan para pensiunan termasuk janda dan duda, yang penghasilannya semata-mata berasal dari gaji atau uang pensiun.
b. Objek Pajak perkebunan, yang luas lahannya sama atau lebih besar dari 25 hektar yang dimiliki, dikuasai atau dikelola oleh BUMN, badan usaha swasta, maupun berdasarkan kerja sama operasional antara pemerintah dan swasta.
c. Objek Pajak Kehutanan, tetapi tidak termasuk area blok tebangan dalam rangka penyelenggaraan kegiatan pemegang Hak pengusaha Hutan. Pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan dan pemegang ijin pemanfaatan kayu yang pengenaan PBB nya dilakukan sekaligus dengan pemungutan iuran hasil hutan.
2. 20% (dua puluh persen) untuk Objek Pajak lainnya.
Cara Menghitung Pajak
Besarnya pajak terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan nilai jual kena pajak.
Pajak Bumi dan Bangunan = Tarif pajak x NJKP
= 0,5% x (Persentase NJKP x (NJOP-NJOPTKP)
Contoh :
Wajib Pajak A mempunyai sebidang tanah dan bangunan yang NJOPnya Rp 15.000.000,00 – maka besarnya pajak yang terutang adalah :
= 0,5% x 20% x (Rp. 15.000.000 - Rp. 8.000.000)
= Rp. 7.000,-
TATA
CARA PEMBAYARAN DAN PENAGIHAN
1. Pajak yang terutang berdasarkan SPPT harus dilunasi selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak.
Contoh :
Apabila SPPT diterima oleh wajib pajak tanggal 1 April 1999, maka jatuh tempo pembayarannya adalah tanggal 30 September 1999.
2. Pajak yang terutang berdasarkan SKP harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya SKP oleh wajib pajak.
Contoh :
Apabila SKP diterima oleh wajib pajak tanggal 1 Maret 1999, maka jatuh tempo pengembaliannya adalah tanggal 31 Maret 1999.
3. Pajak yang terutang yang pada saat jauh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2% sebulan, yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 bulan.
Menurut ketentuan ini, pajak yang terutang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi 2% setiap bulan dari jumlah yang tidak atau kurang dibayar tersebut untuk jangka waktu paling lama 24 bulan, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Contoh :
SPPT tahun pajak 1999 diterima oleh wajib pajak pada tanggal 1 Maret 1999 dengan pajak yang terutang sebesar Rp 500.000,- Oleh wajib pajak baru dibayar pada tanggal 1 September 1999. Maka terhadap wajib pajak tersebut dikenakan denda administrasi sebesar 2% yakni :
2% x Rp 500.000,- = Rp. 10.000,-
Pajak yang terutang yang harus
dibayar pada tanggal 1 September 1999 adalah :
Pokok pajak + denda administrasi =
Rp 500.000,- + Rp 10.000,- = Rp 510.000,-
Bila wajib pajak tersebut baru membayar utang pajaknya pada tanggal 10 Oktober 1999, maka terhadap wajib pajak tersebut dikenakan denda 2 x 2% dari pokok pajak, yakni :
4% x Rp 500.000,- = Rp 20.000,-
Pajak yang terutang yang harus dibayar pada tanggal 10 Oktober 1999 adalah :
Pokok pajak + denda administrasi =
Rp 500.000 + Rp 20.000 = Rp 520.000
4. Denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam no. 3 di atas, ditambah dengan utang pajak yang belum atau kurang dibayar ditagih dengan Surat Tagihan Pajak (STP) yang harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya STP oleh wajib pajak.
Menurut ketentuan ini denda administrasi dan pokok pajak seperti dalam no. 3 diatas, ditagih dengan menggunakan STP yang harus dilunasi dalam waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya STP tersebut.
5. Pajak yang terutang dapat dibayar di Bank, Kantor Pos dan Giro, dan tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
6. Tata cara pembayaran dan penagihan pajak diatur oleh Menteri Keuangan.
7. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), surat ketetapan pajak, dan Surat Tagihan Pajak (STP) merupakan dasar penagihan pajak.
8. Jumlah pajak yang terutang berdasarkan STP yang tidak dibayarkan pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
Dalam hal tagihan pajak yang terutang dibayar setelah jatuh tempo yang telah ditentukan, penagihannya dilakukan dengan surat paksa yang saat ini berdasarkan UU no. 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Cara Menghitung Pajak
Wajib pajak A mempunyai obyek pajak berupa :
• Tanah seluas 800 m2 dengan nilai jual Rp. 300.000 per m2
• Bangunan seluas 400 m2 dengan nilai jual Rp. 350.000 per m2
• Taman mewah seluas 200 m2 denan nilai jual Rp. 50.000 per m2
• Pagar mewah sepanjang 120 m dan tinggi rata-rata pagar 1,5 m dengan nilai jual Rp. 175.000 per m2.
• Persentase nilai jual kena pajak 20%
Besarnya pajak terutang adalah sebagai berikut :
Nilai jual tanah :
800 x Rp. 300.000 = Rp. 240.000.000
Nilai jual bangunan :
- Rumah dan garasi =
400 x Rp. 350.000 = Rp. 140.000.000
- Taman mewah =
200 x Rp. 50.000 = Rp. 10.000.000
- Pagar mewah =
(120 x 1,5) x Rp. 175.000 = Rp. 31.500.000
Nilai jual bangunan Rp. 181.500.000
Nilai jual Obyek Pajak Bumi = Rp. 240.000.000
Nilai jual Obyek Pajak sebagai
dasar pengenaan pajak = Rp. 421.500.000
Nilai Jual Obyek Pajak Tidak
Kena Pajak = (Rp. 8.000.000)
Nilai Jual Obyek Pajak untuk
penghitungan Pajak = Rp. 413.500.000
Nilai Jual Kena Pajak
20% x Rp. 413.500.000 = Rp. 82.700.000
Besarnya PBB yang terutang =
0,5% x Rp. 82.700.000 = Rp. 413.500
Pokok pajak + denda administrasi =
Rp 500.000,- + Rp 10.000,- = Rp 510.000,-
Bila wajib pajak tersebut baru membayar utang pajaknya pada tanggal 10 Oktober 1999, maka terhadap wajib pajak tersebut dikenakan denda 2 x 2% dari pokok pajak, yakni :
4% x Rp 500.000,- = Rp 20.000,-
Pajak yang terutang yang harus dibayar pada tanggal 10 Oktober 1999 adalah :
Pokok pajak + denda administrasi =
Rp 500.000 + Rp 20.000 = Rp 520.000
4. Denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam no. 3 di atas, ditambah dengan utang pajak yang belum atau kurang dibayar ditagih dengan Surat Tagihan Pajak (STP) yang harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya STP oleh wajib pajak.
Menurut ketentuan ini denda administrasi dan pokok pajak seperti dalam no. 3 diatas, ditagih dengan menggunakan STP yang harus dilunasi dalam waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya STP tersebut.
5. Pajak yang terutang dapat dibayar di Bank, Kantor Pos dan Giro, dan tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
6. Tata cara pembayaran dan penagihan pajak diatur oleh Menteri Keuangan.
7. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), surat ketetapan pajak, dan Surat Tagihan Pajak (STP) merupakan dasar penagihan pajak.
8. Jumlah pajak yang terutang berdasarkan STP yang tidak dibayarkan pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
Dalam hal tagihan pajak yang terutang dibayar setelah jatuh tempo yang telah ditentukan, penagihannya dilakukan dengan surat paksa yang saat ini berdasarkan UU no. 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Cara Menghitung Pajak
Wajib pajak A mempunyai obyek pajak berupa :
• Tanah seluas 800 m2 dengan nilai jual Rp. 300.000 per m2
• Bangunan seluas 400 m2 dengan nilai jual Rp. 350.000 per m2
• Taman mewah seluas 200 m2 denan nilai jual Rp. 50.000 per m2
• Pagar mewah sepanjang 120 m dan tinggi rata-rata pagar 1,5 m dengan nilai jual Rp. 175.000 per m2.
• Persentase nilai jual kena pajak 20%
Besarnya pajak terutang adalah sebagai berikut :
Nilai jual tanah :
800 x Rp. 300.000 = Rp. 240.000.000
Nilai jual bangunan :
- Rumah dan garasi =
400 x Rp. 350.000 = Rp. 140.000.000
- Taman mewah =
200 x Rp. 50.000 = Rp. 10.000.000
- Pagar mewah =
(120 x 1,5) x Rp. 175.000 = Rp. 31.500.000
Nilai jual bangunan Rp. 181.500.000
Nilai jual Obyek Pajak Bumi = Rp. 240.000.000
Nilai jual Obyek Pajak sebagai
dasar pengenaan pajak = Rp. 421.500.000
Nilai Jual Obyek Pajak Tidak
Kena Pajak = (Rp. 8.000.000)
Nilai Jual Obyek Pajak untuk
penghitungan Pajak = Rp. 413.500.000
Nilai Jual Kena Pajak
20% x Rp. 413.500.000 = Rp. 82.700.000
Besarnya PBB yang terutang =
0,5% x Rp. 82.700.000 = Rp. 413.500
Tahun
Pajak, Saat, dan Tempat yang Menentukan Pajak Terutang
1) Tahun Pajak adalah jangka waktu satu takwim, yaitu masa dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
2) Saat yang menentukan pajak yang terutang adalah menurut keadaan obyek pajak pada tanggal 1 Januari. Untuk lebih jelasnya diberikan contoh berikut ini :
a. Obyek pajak pada tanggal 1 Januari 1986 berupa tanah dan bangunan.
Pada tanggal 10 Januari 1986 bangunannya terbakar, maka pajak yang terutang tetap berdasarkan keadaan obyek pajak pada tanggal 1 Januari 1986, yaitu keadaan sebelum bangunan tersebut terbakar.
b. Obyek pajak pada tanggal 1 Januari 1986 berupa sebidang tanah tanpa bangunan di atasnya. Pada tanggal 10 Agustus 1986 dilakukan pendataan, ternyata di atas tanah tersebut telah didirikan sebuah bangunan, maka pajak yang terutang untuk tahun 1986 tetap dikenakan berdasarkan keadaan pada 1 Januari 1986.
Bangunan yang baru diketahui pada tanggal 1 Agustus itu baru akan dikenakan pajak pada tahun 1987.
3) Tempat pajak yang terutang :
a. Untuk daerah Jakarta, di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
b. Untuk daerah lainnya, di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II atau Kotamadya Daerah Tingkat II, yang meliputi letak obyek pajak.
Pembagian Hasil Penerimaan Pajak (Ps 18)
1) Hasil penerimaan pajak merupakan penerimaan negara yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan imbangan pembagian sekurang-kurangnya 90% (sembilan puluh persen) untuk Pemerintah Daerah Tingkat II dan Pemerintah Daerah Tingkat I sebagai pendapatan daerah yang bersangkutan.
2) Bagian penerimaan Pemerintah Daerah, sebagian besar diberikan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II. Karena penerimaan pajak ini diarahkan untuk kepentingan masyarakat di Daerah Tingkat II, maka sebagian besar penerimaan pajak ini diberikan kepada Daerah Tingkat II.
3) Imbangan pembagian hasil penerimaan pajak diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1985 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, menetapkan pembagian hasil sebagai berikut :
a. 10% dari hasil penerimaan merupakan bagian penerimaan untuk Pemerintah Pusat dan harus disetor sepenuhnya ke Kas Negara.
b. 90% dari hasil penerimaan merupakan bagian penerimaan untuk Pemerintah Daerah dan setelah dikurangi dengan biaya untuk melakukan pemungutan sebesar 10% dari 90% dibagi untuk Pemerintah Daerah Tingkat I dan Pemerintah Daerah Tingkat II dengan imbangan sebagai berikut :
- Pemerintah Daerah Tingkat I ; 20%
- Pemerintah Daerah Tingkat II : 80%
Dengan pembagian seperti itu, maka bagian masing-masing adalah sebagai berikut :
a. Pemerintah Pusat : 10%
b. Biaya pemungutan : 10% x 90% = 9%
c. Pemerintah Daerah Tingkat I : 20% x 81% = 16,2%
d. Pemerintah Daerah Tingkat II : 80% x 81% = 64,85
masing-masing dari hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan.
Hasil pembagian Pajak Bumi dan Bangunan yang diterima oleh daerah merupakan pendapatan daerah dan setiap tahun harus dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Dan penggunaannya, diselaraskan dengan pembangunan nasional yang diarahkan untuk kepentingan masyarakat di daerah yang bersangkutan. Dengan penggunaan seperti ini diharapkan akan merangsang masyarakat di daerah letak obyek pajak untuk memenuhi kewajibannya membayar pajak yang sekaligus mencerminkan sifat kegotongroyongan rakyat dalam pembiayaan pembangunan.
Apakah Anda membutuhkan pinjaman untuk membayar tagihan, mengembangkan bisnis skala kecil atau menengah Anda? Ibu Elizabeth Louis Pinjaman Perusahaan memberikan kesempatan untuk membuat impian Anda menjadi kenyataan dengan memberikan pinjaman kepada individu swasta atau pemerintah dan Perusahaan dengan tingkat bunga 2% untuk awal untuk setiap jumlah yang dibutuhkan dan dengan jadwal pembayaran yang fleksibel. Hubungi Ibu Elizabeth Louis untuk LOAN Anda hari ini melalui email: elizabethlouisloancompany@gmail.com atau hubungi hotline kami +15022653621
BalasHapus