Sistem
perpajakan yang lama ternyata sudah tidak sesuai lagi dengan tingkat kehidupan
sosial ekonomi masyarakat Indonesia, baik dari segi kegotong-royongan nasional
maupun dari laju pembangunan nasional yang telah dicapai. Di samping itu,
sistem perpajakan yang lama tersebut belum dapat menggerakkan peran dari semua
lapisan subyek pajak yang besar peranannya dalam menghasilkan penerimaan dalam
negeri yang sangat di perlukan guna mewujudkan kelangsungan dan peningkatan
pembangunan nasional. Oleh karena itu, pemerintah menciptakan sistem perpajakan
yang baru yaitu dengan lahirnya Undang-undang perpajakan baru.
Sejalan dengan perkembangan yang
ada, disadari banyak masalah yang ternyata tidak sesuai lagi dengan kondisi
yang ada sehingga menuntut perlunya penyempurnaan terhadap undang-undang
perpajakan tersebut. Dengan alasan tersebut maka pada akhir tahun 1994
pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 9, 10, 11, dan 12 sebagai
penyempurnaan. Dan penyempurnaan terakhir terhadap undang-undang perpajakan
tersebut dilakukan dengan dikeluarkannya UU No. 16, 17, 18, 19, dan 20 tahun
2000. Penyempurnaan tersebut sejalan dengan arah dan tujuan pembangunan
nasional serta kebijakan pemerintah dalam PJP Tahap II yang antara lain
berbunyi “Sistem perpajakan terus disempurnakan, pemungutan pajak diintensifkan
dan aparat perpajakan harus makin mampu dan bersih”.
Dasar Hukum
Dasar
Hukum Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang-undang No.6 Tahun
1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No.16 Tahun 2000.
Beberapa Pengertian-Pengertian
Dalam
pembahasan Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan akan dijumpai
pengertian-pengertian atau istilah-istilah yang sudah baku. Pengertian-pengertian
atau istilah-istilah tersebut, antara lain adalah :
1. Wajib
Pajak (WP) adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau
pemotong pajak tertentu.
2. Badan
adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau daerah dengan nama dan dalam
bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dan pensiun persekutuan, perkumpulan,
yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi sejenis,
lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.
3. Pengusaha
adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha
atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang,
melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar
daerah pabean, melakukan usaha jasa atau memanfaatkan jasa dari luar daerah
pabean.
4. Pengusaha
Kena Pajak adalah Pengusaha sebagaimana dimaksud pada angka 3 yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan
pajak berdasarkan undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya
tidak termasuk Pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang minta untuk dikukuhkan menjadi
menjadi Pengusaha Kena Pajak.
5. Nomor
Pokok Wajib Pajak adalah nommor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai
sarana dalam administrasi perpajakan yang digunakan sebagai tanda pengenal diri
atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
6. Masa
Pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) bulan takwim atau
jangka waktu lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan paling lama
3 (tiga) bulan takwim.
7. Tahun
Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun takwim kecuali bila Wajib Pajak
menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim.
8. Bagian
Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.
9. Pajak
Yang Terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat dalam Masa Pajak,
dalam Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
10. Penanggung
Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran
pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
11. Surat
Paksa adalah surat perintah untuk membayar utang pajak dan biaya penagihan
pajak. sesuai dengan UU No.19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa sebagaimana telah diubah dengan UU No.19 Tahun 2000.
12. Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak
digunakan melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan
atau bukan objek pajak dan atau harta
dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pembayaran
Pajak (Pasal 9-10 UU KUP)
Kewajiban berikutnya yang harus dipenuhi oleh seorang
Wajib Pajak setelah mendaftarkan diri (memperoleh kartu NPWP) dan atau
melaporkan kegiatan usahanya (dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak), dan
menyampaikan SPT adalah melunasi atau membayar menyetor pajak yang masih harus
dibayar sebesar jumlah yang tercantum dalam SPT, baik SPT Masa atau SPT
Tahunan. Pelunasan tersebut dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak
(SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP. SSP atau sarana
administrasi lain tersebut dianggap sah apabila telah divalidasi dengan Nomor
Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) yang diberikan oleh petugas di tempat
pembayaran.
Surat Setoran Pajak (SSP) adalah bukti pembayaran atau
penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah
dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
1.
Tempat Pembayaran
a.
Kantor
Pos,
b.
Bank
Persepsi, yaitu bank baik BUMN/BUMD atau bank swasta yang ditunjuk langsung
untuk menerima pembayaran pajak,
c.
Tempat
lain yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
2.
Jatuh Tempo Pembayaran Pajak
a.
Pembayaran
Masa
Sebagai sarana tertib administrasi pembayaran, ditentukan
tanggal jatuh tempo pembayaran untuk masing-masing jenis pajak ,yang dapat
dijabarkan sebagai berikut (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK/2007
tanggal 28 Desember 2007).
b.
Pembayaran
Tahunan
Salah satu perubahan yang cukup signifikan dalam UU KUP
2008 adalah tidak ada lagi tanggal yang pasti mengenai bats waktu pembayaran
kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan Pajak
Penghasilan. Dalam undang-undang hanya disebutkan bahwa kekurangan pembayaran
pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan tersebut harus
dibayar lunas sebelum SPT Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan. Sebelum UU KUP
2008, ditetapkan bahwa setiap tanggal 25 bulan ketiga setelah Tahun Pajak atau
Bagian Tahun Pajak berakhir, sebelum SPT disampaikan, adalah batas waktu
pembayaran kekurangan pajak.
Perubahan
ini merupakan imbas dari perunahan batas waktu penyampaian SPT Tahuna Pajak
Penghasilan yang dibedakan antara Wajib Pajak badan. Dengan demikian, sepanjang
belum melewati batas waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak dapat melunasi
kekurangan pembayaran pajak terutang kapanpun.
c.
Surat
Tagihan Pajak (SPT)
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), atau Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, dan Putusan Peninjauan
Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, harus
dilunasi dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal di terbitkan. Pengecualian
dari ketentuan ini dari Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak daerah tertentu
(Wajib Pajak Kriteria Tertentu), adalah jangka waktu pelunasan dapat
diperpanjang paling lama menjadi 2 bulan.
Daftar
Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran Pajak
Jenis Pajak
|
Yang Menyetor
|
Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran
|
PPh Pasal 4 ayat (2)
dipungut/dipotong pihak lain
|
Pemotong/pemungut
|
Tanggal 10 bulan berikutnya
setelah masa pajak berakhir
|
PPh Pasal 4 ayat (2) yang dibayar
sendiri
|
Wajib Pajak
|
Tanggal 15 bulan berikutnya
setelah masa pajak berakhir
|
PPh Pasal 15 yang
dipotong/dipungut pihak lain
|
Pemotong/pemungut
|
Tanggal 10 bulan berikutnya
setelah masa pajak berakhir
|
PPh Pasal 15 yang dibayar
sendiri
|
Wajib Pajak
|
Tanggal 15 bulan berikutnya
setelah masa pajak berakhir
|
PPh Pasal 21
|
Pemotong/pemungut
|
Tanggal 10 bulan berikutnya
setelah masa pajak berakhir
|
PPh Pasal 22, PPN dan PPnBM
impor
|
Wajib Pajak
|
Bersamaan dengan saat
pembayaran Bea Masuk
|
PPh Pasal 22, PPN dan PPnBM
impor dalam hal Bea Masuk ditunda/dibebaskan
|
Wajib Pajak
|
Saat penyelesaian dokumen
pemberitahuan impor barang
|
PPh Pasal 22, PPN dan PPnBM
impor dipungut Ditjen Bea da Cukai
|
Ditjen Bea dan Cukai
|
Satu hari setelah dilakukan
pemungutan pajak
|
PPh Pasal 22 dipungut Bendara
|
Bendahara
|
Hari yang sama dengan
pelaksanaan pembayaran
|
PPh Pasal 22 atas penyerahan
BBM, gas, dan pelumas
|
Produsen
|
Tanggal 10 bulan berikutnya
setelah masa pajak berakhir
|
PPh Pasal 22 dipungut wajib
pajak badan tertentu
|
Wajib Pajak badan tertentu
|
Tanggal 10 bulan berikutnya
setelah masa pajak berakhir
|
PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26
|
Pemotong/pemungut
|
Tanggal 10 bulan berikutnya
setelah masa pajak berakhir
|
PPh Pasal 25
|
Wajib Pajak
|
Tanggal 15 bulan berikutnya
setelah masa pajak berakhir
|
PPh Pasal 25 dengan kriteria
tertentu
|
Waib Pajak dengan kriteria
tertentu yang melaporkan beberapa masa pajak dalam satu SPT
|
Paling lama pada akhir masa
pajak berakhir
|
Pembayaran masa selain PPh
Pasal 25 dengan kriteria tertentu
|
Wajib Pajak dengan kriteria
tertentu yang melaporkan beberapa masa pajak dalam satu SPT
|
Paling lama sesuai dengan
batas waktu untu masing-masing jenis pajak
|
PPN atau PPN dan PPnBM
|
Wajib Pajak
|
Akhir bulan berikutnya
setelah berakhirnya masa pajak dan sebelum masa SPT Masa PPN disampaikan
|
PPN atau PPN dan PPnBM
dipungut oleh bendaharawan/instansi pemerintahan yang ditunjuk
|
Bendahara/instansi pemerintah
yang ditunjuk
|
Tanggal 7 bulan berikutnya
setelah masa pajak berakhir
|
PPN atau PPN dan PPnBM yang
dipungut selain bendaharawan/instansi pemreintah yang ditunjuk
|
Pemungut selain
bendaharawan/instansi pemerintah yang ditunjuk
|
Tanggal 15 bulan berikutnya
setelah masa pajak berakhir
|
Jika tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak
bertepatan dengan hari libur, termasuk hari Sabtu dan hari libur nasional,
pembayaran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Hari libur
nasional tersebut termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan
Umum (Pemilu) dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar